Seperti Apa Rasanya Ikhlas Itu?
..

Seperti Apa Rasanya Ikhlas Itu?

Teori dan praktik memang sering tidak sejalan. Mengerti teori dan manfaat tentang menahan marah, misalnya. Tapi dalam praktiknya, belum tentu bisa dijalankan.

Saya butuh waktu yang sangat lama untuk benar-benar memahami tentang mengapa harus mengendalikan amarah dan bagaimana caranya. Juga untuk mengerti tentang apa sebenarnya yang disebut “Ikhlas” itu, dan bagaimana rasanya.

Saya tidak akan bercerita tentang pengalaman detilnya, namun ciri utamanya saja. Yakni: jika orang sudah ikhlas tentang suatu hal, dia tidak akan membicarakan itu lagi. Tidak membahas, tidak mengingat-ingat, tidak bercerita di laman medsos, tidak curhat, tidak nggrundhel, juga tidak lagi berusaha ikhlas dengan berulang-ulang mengatakan berusaha ikhlas. Semua lepas, seperti layang-layang yang dibiarkan terbang mengikuti angin. Tak lagi dipegang, dikendalikan, atau dicari.

Ini berlaku untuk semua pengalaman, baik kecil maupun besar. Tidak ada batas usia maupun bobot pengalaman. Begitu ybs sudah ikhlas beneran, semua keinginan untuk bercerita atau mengulang-ulang kenangan lama, akan sirna begitu saja. Paling-paling kalau menemui hal serupa, ia hanya merespon pendek dan tidak punya minat lagi untuk membahasnya.

Satu hal yang membuat ikhlas jadi sukar dilakukan adalah: Ego. Misalnya: ada orang pernah disakiti. Ia merasa diperlakukan tidak adil, merasa berhak untuk membalas, merasa tak layak disakiti, merasa ingin melihat mereka yang menyakitinya mendapat balasan setimpal, merasa ingin membicarakannya terus-menerus, dan masih memberi ruang khusus di hatinya untuk menyimpan file buruk tersebut. Masih ada rasa sakit di hati ketika mengenang pengalaman itu, dan masih ada rasa penasaran tentang kapan balasan akan menimpa orang yang pernah menyakitinya.

Sebaliknya, kalau sudah ikhlas, semua rasa marah dan sakit itu lenyap seketika. Berganti dengan rasa “Nrimo”. No problem, no hard feeling, menerima semua pengalaman itu dengan lapang dada dan gembira. Menerima semuanya sebagai keniscayaan semata, sebagai bagian dari proses bertumbuh sebagai manusia. Bukan lagi sebagai pengalaman yang dilabeli dengan buruk-baik.

Susah juga ternyata, ya?